Jakarta - Pemanasan global (global warming) menjadi momok paling menakutkan dunia dewasa ini. Efek rumah kaca mampu memacu suhu muka bumi. Belum ditambah polusi yang kian menjadi. Akibatnya laju pencairan es di kutub semakin cepat dan daratan pun terancam tenggelam.
Secara meteorologis pergerakan angin menjadi tak menentu dan cuaca pun sulit lagi terprediksikan. Hampir dua tahun disepakati Bali Road Map sebagai konsesus Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) belum terlihat diimplementasikan dalam aksi. Dan kini KTT Perubahan Iklim kembali digelar di Kopenhagen Denmark. Di tengah acara demi acara dan rencana demi rencana alam senantiasa menunjukkan keperkasaannya. Bencana terus menyapa tanpa koma. Bencana hadir dengan segala variasi jenis, skala, dan sebarannya.
Dengan teropong makro bagaimana mengatasi pemanasan global seolah sulit terbayangkan. Namun, tidak demikian jika kita pandang dalam skala lokal. Bukankah globalnya sifat yang ditimbulkan juga karena kondisi lokal. Contohnya fenomena banjir yang terjadi tiap tahun hampir di seluruh pelosok nusantara.
Benar memang. Hal itu dikarenakan curah hujan yang tinggi akibat pemanasan global. Namun, tentu tak akan separah itu jika daerah hulu tetap optimal fungsi konservasinya. Belum ditambah ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan yang nyaris punah, sumur resapan hujan sangat terbatas, drainase tersumbat sampah kota, dan segudang permasalahan lain. Pada titik inilah dalam perspektif antroposentrisme perlu mengembalikan segala sebab dan menyerahkan segala solusi pada manusia. Semua terjadi karena ulah tangan manusia dan semua dapat diatasi dari tangan manusia pula.
Al Qardhawi (2002) mengemukakan bahwa permasalahan dunia yang banyak terjadi khususnya lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas. Sehingga, solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, dan keramahan.
Agama dan Lingkungan
"Religion without sciences is blind and sciences without religion is lame". Demikian Einstine sang Yahudi taat menyimpulkan proses eksperimentalnya yang cukup fenomenal. Agama mana pun secara umum pastilah mengajarkan dogma kebaikan dalam kehidupan.
Giddens (2001) juga mengisyaratkan bahwa peradaban modern sekarang ini menunjukkan kondisi bahaya yang justru berasal dari internal. Lebih dahsyat dibandingkan dari pengaruh eksternal. Realita menunjukkan semakin modern kehidupan semakin banyak kerusakan dan permasalahan kian pelik. Menurutnya kondisi tersebut menyimpulkan bahwa peradaban materialisme sekarang tidak dapat lagi dipertahankan sehingga akan lahirlah pandangan baru yang akan mendasari peradaban zaman selanjutnya yaitu agama dan filsafat kehidupan kontemporer.
Konsepsi di atas tidaklah berdiri sendiri pada satu sisi. Namun, didukung oleh bukti sensitivitas ajaran agama terhadap pengelolaan lingkungan pada sisi lain. Chee Yoke Ling (1994) menemukan daya dukung tersebut dalam berbagai agama.
Ajaran Taoisme menekankan konsep keselarasan dan kesempurnaan alam dalam memandang manusia dan alam sebagai suatu kesatuan. Hinduisme mengajarkan bahwa alam yang dianggap sebagai penjara manusia dapat dikalahkan melalaui pengetahuan tentang struktur alam. Bahkan, dengan bantuan alam pula. Dengan demikian lingkungan alam terikat erat dengan teknik spiritualnya. Alam juga diposisikan sebagai guru yang dapat memperkaya manusia melalui kearifannya.
Selanjutnya Nasrani menekankan ajarannya sebagai cinta kasih yang memberikan petunjuk bagi manusia dalam berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya. Dalam Islam konskuensi logis atas wujud penghambaan manusia dengan Sang Pencipta adalah mewujudkan kaidah keseimbangan secara makro (dunia-akhirat). Secara mikro (jasad-pikir-dzikir), dan dalam skala meso (manusia-manusia dan manusia-lingkungan).
Secara teologis berbagai makna tersirat dalam setiap terjadinya bencana. Bencana merupakan konsekuensi duniawi yang dapat dipandang sebagai azab (bencana) bagi perusak. Cobaan bagi semua manusia. Sekaligus bisa menjadi nikmat bagi yang mampu berpikir. Apa pun artinya agama mengajarkan agar manusia mampu belajar mengambil hikmah (reading the words and reading the world).
Manusia merupakan pemegang kunci yang dinamis atas berjalannya proses kehidupan di samping alam yang meskipun cukup perkasa namun dalam dunia modern ini hampir takluk pada ambisi manusia. Karena itu, aspek pengelolaan individu memainkan peran paling vital, mengingat semua perangkat pengelolaan wilayah --mulai dari yang bersifat material maupun non material, masih dominan sebagai produk subyektivitas manusia. Bagaimana kualitas hasil dan implementasinya sangat tergantung pada dedikasi manusia.
Jika setiap manusia mampu menempatkan dogma sebagai doktrin yang mendasari segala aktivitasnya maka minimal untuk konteks dunia akan terwujud impian kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan bermacam kebahagiaan lainnya. Meletakkan ruh spiritual dapat menjadi strategi awal dan fundamental dalam langkah kehidupan.
Tak terkecuali dalam konteks pengelolaan lingkungan yakni dengan konsep ekospiritual atau teologi lingkungan. Motivasi spritual dengan demikian sangat layak
untuk dipertimbangkan sebagai strategi fundamental menggerakkan seluruh pihak bersama-sama menangkal kerusakan lingkungan. Termasuk pemanasan global.
Nilai-nilai religi tidak hanya direalisasikan dalam pola hubungan vertikal namun juga secara horisontal. Termasuk dengan lingkungannya.
Harapan Tinggal Harapan
Bentuk-bentuk eksploitasi lingkungan untuk kepentingan ekonomi kapitalistik dewasa ini telah menjadi jaringan yang cukup rapi dan sistematis. Baik melalui persekongkolan politik, sekutu invasi budaya, dan lainnya.
Konsekuensinya kerja sama menjadi kebutuhan yang niscaya. Antar stakeholder, antar wilayah, antar bangsa, perlu duduk dan bergerak bersama dalam satu visi, yakni mengelola alam dan lingkungan dalam bingkai keadilan sosial ekonomi dan keberlanjutan ekologi.
Pelaksanaan KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen diharapkan dapat memutus kesan klasik bahwa konferensi tidak hanya sebatas seremoni. KTT menjadi harapan akan hadirnnya solusi yang komprehensif bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim secara berkeadilan. Konsekuensinya diplomasi hendaknya tidak hanya dikuasai semangat ekonomis dan politis. Tapi, justru didasari misi ekologis.
Kenyataannya hingga hari-hari akhir pelaksanaan KTT negosiasi semakin memanas karena terus terjadi tarik ulur kepentingan antara negara maju dan berkembang. Harapan akan hadirnya solusi bersama untuk mengerem perubahan iklim pun seakan tinggal harapan.
Gerakan Ekospiritual
Apapun hasil KTT Kopenhagen pesimisme tidak boleh terjadi. Berbagai upaya dalam skala global dan regional tetap harus terus dilakukan. Dan, di saat bersamaan perlu dukungan kontributif dari level lokal hingga individual. Tindakan sederhana dalam keseharian mesti dijiwai budaya ramah lingkungan.
'Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga'. Filosofi gerak kehidupan yang dipopulerkan Aa Gym ini kiranya dapat menjadi pegangan. Terlalu rumit dan di luar jangkauan mayoritas masyarakat jika disuguhkan konsepsi teoritis. Menjadi aplikatif dan solutif.
Ketika masyarakat digerakkan untuk membiasakan diri dengan gaya hidup ekologis. Mulai dari mengelola sampah, gemar menanam, rumah dan fasilitas ramah lingkungan, nelayan yang tidak merusak terumbu karang, dan sebagainya. Dan, satu alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam menggerakkan kepedulian adalah dengan sentuhan spiritual.
Uraian di atas tentunya masih terlalu singkat dan sederhana untuk merumuskan langkah stratejik dalam pengelolaan lingkungan. Khususnya menangkal pemanasan global. Namun, sebagai kisi-kisi, renungan tersebut dapat menjadi alternatif untuk ditindaklanjuti.
Ke depan perlu komunikasi intensif antar stakeholder, dengan melibatkan para ulama atau rohaniawan yang selama ini masih terlupakan. Ekospiritual akan menghadirkan ulama yang juga memikirkan kepentingan ekologi serta pemeluk agama yang memiliki kesadaran ekologis dalam kerangka spiritual. Bersatunya visi dengan potensi masing-masing merupakan modal besar yang menjanjikan di tengah peliknya permasalahan lingkungan.
Secara meteorologis pergerakan angin menjadi tak menentu dan cuaca pun sulit lagi terprediksikan. Hampir dua tahun disepakati Bali Road Map sebagai konsesus Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) belum terlihat diimplementasikan dalam aksi. Dan kini KTT Perubahan Iklim kembali digelar di Kopenhagen Denmark. Di tengah acara demi acara dan rencana demi rencana alam senantiasa menunjukkan keperkasaannya. Bencana terus menyapa tanpa koma. Bencana hadir dengan segala variasi jenis, skala, dan sebarannya.
Dengan teropong makro bagaimana mengatasi pemanasan global seolah sulit terbayangkan. Namun, tidak demikian jika kita pandang dalam skala lokal. Bukankah globalnya sifat yang ditimbulkan juga karena kondisi lokal. Contohnya fenomena banjir yang terjadi tiap tahun hampir di seluruh pelosok nusantara.
Benar memang. Hal itu dikarenakan curah hujan yang tinggi akibat pemanasan global. Namun, tentu tak akan separah itu jika daerah hulu tetap optimal fungsi konservasinya. Belum ditambah ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan yang nyaris punah, sumur resapan hujan sangat terbatas, drainase tersumbat sampah kota, dan segudang permasalahan lain. Pada titik inilah dalam perspektif antroposentrisme perlu mengembalikan segala sebab dan menyerahkan segala solusi pada manusia. Semua terjadi karena ulah tangan manusia dan semua dapat diatasi dari tangan manusia pula.
Al Qardhawi (2002) mengemukakan bahwa permasalahan dunia yang banyak terjadi khususnya lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas. Sehingga, solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, dan keramahan.
Agama dan Lingkungan
"Religion without sciences is blind and sciences without religion is lame". Demikian Einstine sang Yahudi taat menyimpulkan proses eksperimentalnya yang cukup fenomenal. Agama mana pun secara umum pastilah mengajarkan dogma kebaikan dalam kehidupan.
Giddens (2001) juga mengisyaratkan bahwa peradaban modern sekarang ini menunjukkan kondisi bahaya yang justru berasal dari internal. Lebih dahsyat dibandingkan dari pengaruh eksternal. Realita menunjukkan semakin modern kehidupan semakin banyak kerusakan dan permasalahan kian pelik. Menurutnya kondisi tersebut menyimpulkan bahwa peradaban materialisme sekarang tidak dapat lagi dipertahankan sehingga akan lahirlah pandangan baru yang akan mendasari peradaban zaman selanjutnya yaitu agama dan filsafat kehidupan kontemporer.
Konsepsi di atas tidaklah berdiri sendiri pada satu sisi. Namun, didukung oleh bukti sensitivitas ajaran agama terhadap pengelolaan lingkungan pada sisi lain. Chee Yoke Ling (1994) menemukan daya dukung tersebut dalam berbagai agama.
Ajaran Taoisme menekankan konsep keselarasan dan kesempurnaan alam dalam memandang manusia dan alam sebagai suatu kesatuan. Hinduisme mengajarkan bahwa alam yang dianggap sebagai penjara manusia dapat dikalahkan melalaui pengetahuan tentang struktur alam. Bahkan, dengan bantuan alam pula. Dengan demikian lingkungan alam terikat erat dengan teknik spiritualnya. Alam juga diposisikan sebagai guru yang dapat memperkaya manusia melalui kearifannya.
Selanjutnya Nasrani menekankan ajarannya sebagai cinta kasih yang memberikan petunjuk bagi manusia dalam berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya. Dalam Islam konskuensi logis atas wujud penghambaan manusia dengan Sang Pencipta adalah mewujudkan kaidah keseimbangan secara makro (dunia-akhirat). Secara mikro (jasad-pikir-dzikir), dan dalam skala meso (manusia-manusia dan manusia-lingkungan).
Secara teologis berbagai makna tersirat dalam setiap terjadinya bencana. Bencana merupakan konsekuensi duniawi yang dapat dipandang sebagai azab (bencana) bagi perusak. Cobaan bagi semua manusia. Sekaligus bisa menjadi nikmat bagi yang mampu berpikir. Apa pun artinya agama mengajarkan agar manusia mampu belajar mengambil hikmah (reading the words and reading the world).
Manusia merupakan pemegang kunci yang dinamis atas berjalannya proses kehidupan di samping alam yang meskipun cukup perkasa namun dalam dunia modern ini hampir takluk pada ambisi manusia. Karena itu, aspek pengelolaan individu memainkan peran paling vital, mengingat semua perangkat pengelolaan wilayah --mulai dari yang bersifat material maupun non material, masih dominan sebagai produk subyektivitas manusia. Bagaimana kualitas hasil dan implementasinya sangat tergantung pada dedikasi manusia.
Jika setiap manusia mampu menempatkan dogma sebagai doktrin yang mendasari segala aktivitasnya maka minimal untuk konteks dunia akan terwujud impian kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan bermacam kebahagiaan lainnya. Meletakkan ruh spiritual dapat menjadi strategi awal dan fundamental dalam langkah kehidupan.
Tak terkecuali dalam konteks pengelolaan lingkungan yakni dengan konsep ekospiritual atau teologi lingkungan. Motivasi spritual dengan demikian sangat layak
untuk dipertimbangkan sebagai strategi fundamental menggerakkan seluruh pihak bersama-sama menangkal kerusakan lingkungan. Termasuk pemanasan global.
Nilai-nilai religi tidak hanya direalisasikan dalam pola hubungan vertikal namun juga secara horisontal. Termasuk dengan lingkungannya.
Harapan Tinggal Harapan
Bentuk-bentuk eksploitasi lingkungan untuk kepentingan ekonomi kapitalistik dewasa ini telah menjadi jaringan yang cukup rapi dan sistematis. Baik melalui persekongkolan politik, sekutu invasi budaya, dan lainnya.
Konsekuensinya kerja sama menjadi kebutuhan yang niscaya. Antar stakeholder, antar wilayah, antar bangsa, perlu duduk dan bergerak bersama dalam satu visi, yakni mengelola alam dan lingkungan dalam bingkai keadilan sosial ekonomi dan keberlanjutan ekologi.
Pelaksanaan KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen diharapkan dapat memutus kesan klasik bahwa konferensi tidak hanya sebatas seremoni. KTT menjadi harapan akan hadirnnya solusi yang komprehensif bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim secara berkeadilan. Konsekuensinya diplomasi hendaknya tidak hanya dikuasai semangat ekonomis dan politis. Tapi, justru didasari misi ekologis.
Kenyataannya hingga hari-hari akhir pelaksanaan KTT negosiasi semakin memanas karena terus terjadi tarik ulur kepentingan antara negara maju dan berkembang. Harapan akan hadirnya solusi bersama untuk mengerem perubahan iklim pun seakan tinggal harapan.
Gerakan Ekospiritual
Apapun hasil KTT Kopenhagen pesimisme tidak boleh terjadi. Berbagai upaya dalam skala global dan regional tetap harus terus dilakukan. Dan, di saat bersamaan perlu dukungan kontributif dari level lokal hingga individual. Tindakan sederhana dalam keseharian mesti dijiwai budaya ramah lingkungan.
'Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga'. Filosofi gerak kehidupan yang dipopulerkan Aa Gym ini kiranya dapat menjadi pegangan. Terlalu rumit dan di luar jangkauan mayoritas masyarakat jika disuguhkan konsepsi teoritis. Menjadi aplikatif dan solutif.
Ketika masyarakat digerakkan untuk membiasakan diri dengan gaya hidup ekologis. Mulai dari mengelola sampah, gemar menanam, rumah dan fasilitas ramah lingkungan, nelayan yang tidak merusak terumbu karang, dan sebagainya. Dan, satu alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam menggerakkan kepedulian adalah dengan sentuhan spiritual.
Uraian di atas tentunya masih terlalu singkat dan sederhana untuk merumuskan langkah stratejik dalam pengelolaan lingkungan. Khususnya menangkal pemanasan global. Namun, sebagai kisi-kisi, renungan tersebut dapat menjadi alternatif untuk ditindaklanjuti.
Ke depan perlu komunikasi intensif antar stakeholder, dengan melibatkan para ulama atau rohaniawan yang selama ini masih terlupakan. Ekospiritual akan menghadirkan ulama yang juga memikirkan kepentingan ekologi serta pemeluk agama yang memiliki kesadaran ekologis dalam kerangka spiritual. Bersatunya visi dengan potensi masing-masing merupakan modal besar yang menjanjikan di tengah peliknya permasalahan lingkungan.